Stop Kekerasan pada Remaja!

Diperbarui 20/03/2023

Kekerasan pada remaja merupakan tindakan kekerasan fisik, emosional, ataupun seksual yang dilakukan oleh teman sebaya di usia remaja. Kekerasan pada remaja dapat berpengaruh buruk terhadap perkembangannya dalam menjalani transisi ke masa dewasa. Beberapa anak yang melakukan tindak kekerasan ini menunjukkan perilaku bermasalah sejak anak usia dini yang kemudian secara bertahap meningkat menjadi bentuk agresi yang lebih parah sebelum dan selama masa remaja. Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) telah menyatakan bahwa kekerasan pada remaja berdampak seumur hidup pada fungsi psikologis dan sosial seseorang.

Menurut evaluasi UNICEF hingga tahun 2018, lebih dari 21% anak remaja Indonesia usia 13-15 tahun atau sekitar 18 juta anak melaporkan telah mengalami perundungan (bullying). Sementara itu, 25% melaporkan pernah terlibat dalam pertengkaran secara fisik, dengan angka yang lebih tinggi yaitu 36% pada anak laki-laki dan 13% pada anak perempuan. Perundungan dapat berefek buruk terhadap korban maupun pelaku, baik itu secara jangka pendek maupun jangka panjang. Perilaku agresif pada remaja, termasuk kekerasan dan perundungan berkaitan erat dengan meningkatnya risiko gangguan psikiatri di kemudian hari, fungsi sosial yang menurun, hingga luaran buruk dalam hal prestasi belajar dan pendidikan.

Menurut Kantor Pusat Layanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), terdapat beberapa jenis kekerasan terhadap remaja, di antaranya adalah sebagai berikut:

  1. Kekerasan Fisik : pemukulan, penamparan, penendangan, dsb.
  2. Kekerasan Emosional : kekerasan berupa kata-kata yang menakut-nakuti, mengancam, menghina, mencaci dan memaki, terutama secara kasar dan keras.
  3. Kekerasan Seksual: pornografi, perkataan yang mengarah pada pelecehan seksual, tindakan tidak senonoh, pelecehan organ seksual.
  4. Pengabaian dan penelantaran: segala bentuk kelalaian yang melanggar hak anak dalam pemenuhan gizi dan pendidikan.
  5. Kekerasan ekonomi (eksploitasi): mempekerjakan anak di bawah umur dengan motif ekonomi, prostitusi anak.

Saat ini (Maret 2023), KEMENPPPA menyajikan data angka kejadian real time kekerasan remaja sebanyak 5.061 kasus, dengan korban laki laki sejumlah 902 orang dan 4.582 korban perempuan. Pelaku kekerasan berdasarkan hubungan terbanyak adalah oleh pacar/teman yaitu sekitar 944 kasus disusul oleh pelaku terbanyak kedua yaitu suami/istri dan ketiga yaitu keluarga.

Berdasarkan usia, korban kekerasan terbanyak terjadi pada kalangan usia 13-17 tahun sebanyak 1.880 korban, rentang usia 6-12 sebanyak 1.157 korban dan 0-5 tahun sebanyak 410 korban.

Mengapa bisa terjadi kekerasan pada remaja?

Sebagai lingkungan terkecil bagi anak usia remaja, keluarga seharusnya menjadi tempat berlindung yang paling aman dan nyaman. Namun ketika orang tua atau anggota keluarga lainnya tidak mengambil peran aktif dalam proses pendewasaan anaknya, maka remaja dapat bertindak di luar kendali dan mencari lingkungan lain yang membuatnya nyaman sehingga cenderung berteman dengan orang yang salah. Hal ini dapat berkembang menjadi perilaku agresif dan timbul kekerasan pada remaja.

Di samping itu, media sosial telah menjelma menjadi wadah terbesar bagi anak remaja dalam mengakses beragam kebutuhan anak dalam mengekspresikan jati diri. Berbagai macam informasi yang deras serta penayangan tindak kekerasan di dalam media sosial seolah tanpa filter sedikit banyak memengaruhi perilaku remaja dan dapat membuat mereka bertindak agresif.

Tekanan dari teman sebaya (peer pressure) dapat menjadi faktor lain penyebab kekerasan pada remaja karena lingkungan inilah yang menjadi tempat di mana mereka menghabiskan waktu paling banyak di samping bersama keluarga. Saat teman sebaya berperilaku agresif, misalnya terlibat dalam perundungan, pertengkaran fisik, tawuran, hingga kekerasan seksual, maka seorang remaja cenderung bersikap yang sama untuk dapat ‘diterima’ dalam memperlihatkan eksistensi jati dirinya.

Faktor lainnya mengapa bisa terjadi kekerasan pada remaja adalah adanya gangguan mental/emosional seperti gangguan pemusatan perhatian/hiperaktivitas (GPPH) atau attention deficit/hyperactivity disorder (ADHD), gangguan bipolar, serta gangguan perilaku lainnya. Gangguan ini cenderung membuat anak remaja berperilaku agresif. Selain itu, pelecehan atau perlakuan kekerasan terhadap anak (child abuse) juga dipandang sebagai sebuah siklus kekerasan sehingga anak-anak yang menjadi korban kekerasan dapat menjadi pelaku kekerasan di kemudian hari.

Apa saja dampak buruk kekerasan terhadap remaja?

Kekerasan pada remaja dapat berdampak buruk baik itu dari segi kesehatan fisik maupun psikologis yang telah banyak didokumentasikan oleh penelitian. Tidak hanya itu, kekerasan pada teman sebaya ini juga dapat berdampak negatif pada kinerja sekolah anak-anak, dengan beberapa penelitian menunjukkan kinerja akademis yang buruk di sekolah.

  1. Masalah kesehatan fisik : masalah kesehatan fisik anak-anak dan gejala psikosomatik. Gejala psikosomatik ini merupakan suatu kondisi atau gangguan ketika masalah mental atau pikiran memengaruhi tubuh sehingga memicu munculnya gangguan fisik, seperti sakit kepala, kelelahan, sakit perut dan pusing.
  2. Masalah psikologis : dapat timbul perasaan harga diri yang rendah, perasaan depresi, kecemasan sosial, gangguan tidur, rendahnya efikasi diri, kesepian, keputusasaan dan keinginan untuk bunuh diri.

Apa yang dapat dilakukan untuk mencegah tindak kekerasan pada remaja?

            Keluarga sebagai unit terkecil lingkungan tempat berkembangnya anak, terutama remaja sepatutnya menjadi benteng dari segala bentuk perilaku kekerasan terhadap remaja. Orangtua perlu diberikan edukasi dan pemahaman mengenai pola asuh yang baik, bagaimana mereka harus hadir dalam setiap masa pertumbuhan dan transisi perkembangan anak remaja menuju dewasa. Diharapkan keluarga dapat menjadi lingkungan terdekat anak dalam pencegahan perilaku  kekerasan terhadap remaja.

Lebih dari itu, lingkungan pendidikan dapat dikembangkan menjadi lebih aman dan nyaman untuk anak sehingga sesuai Permendikbud Pasal 8 Nomor 42. Penyuluhan berkala, penambahan kegiatan pengembangan kapasitas dan perkembangan anak, hingga penunjukkan agents of change di kalangan siswa dapat juga menyukseskan kampanye anti perundungan (bullying). Sekolah sebagai rumah kedua bagi anak sudah sepantasnya menjadi lingkungan yang aman dan nyaman sehingga anak remaja bertumbuh dan berkembang secara optimal. Sekolah juga sebaiknya memenuhi kebutuhan konselor atau guru bimbingan dan konseling sehingga tersedia layanan pengaduan bagi siswa apabila mengalami tindak kekerasan.

            Segala upaya penghentian kekerasan pada remaja ini tentu diharapkan dapat membawa Indonesia memenuhi target Sustainable Development Goals (SDGs) tahun 2030, terutama Tujuan atau Goal ketiga yang menyerukan penghapusan kekerasan pada anak. Kekerasan pada remaja menimbulkan kerugian baik secara individu, yaitu dampak buruk bagi kesehatan mentalnya, hingga dampak buruk secara sosial dan ekonomi karena efek jangka panjangnya hingga ke generasi berikutnya.

Daftar Pustaka:
Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Preventing Youth Violence. [online]
Lihat Sumber
World Health Organization (WHO). Youth Violence. [online]
Lihat Sumber
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). Kekerasan Terhadap Anak dan Remaja di Indonesia.
Lihat Sumber
LM Psikologi UGM. (2019). RILIS KAJIAN : KEKERASAN PADA REMAJA.
Lihat Sumber
Ditulis Oleh:
dr. Rodman Tarigan, Sp.A(K)., M.Kes
Bagikan Artikel
Ditulis Oleh:
dr. Rodman Tarigan, Sp.A(K)., M.Kes
Bagikan Artikel

Dapatkan Informasi Terbaru

Berlangganan newsletter kami dan dapatkan informasi terbaru seputar
Anak Indonesia Sehat!

Berlangganan
Notifikasi
0 Comments
Inline Feedbacks
Lihat semua komentar
Anak Indonesia Sehat
Situs ini dibuat untuk para orang tua sebagai wadah pendukung untuk terciptanya pertumbuhan dan perkembangan Anak Indonesia Sehat.
magnifiercrosschevron-down