Gejala lamban/canggung pada remaja dapat merupakan kondisi normal atau merupakan lanjutan gangguan keteramplan motor/alat gerak yang sudah ada sejak dari usia sekolah dasar dan dikenal dengan “gangguan perkembangan koordinasi (GPK)”, yang diterjemahkan dari developmental coordination disorder (DCD).
Gejala lamban/canggung pada remaja karena gangguan perkembangan koordinasi
Gejala lamban karena GPK perlu mendapat perhatian khusus, mengingat masa remaja merupakan masa transisi (dari anak ke dewasa) yang merupakan masa sulit dalam kehidupan tiap anak. Kesulitan remaja ini akan bertambah banyak bila remaja tersebut sudah mempunyai gangguan tertentu sejak usia sekolah.
Banyak anak usia sekolah yang belum mencapai ketrampilan motor yang seharusnya sudah dimiliki oleh anak seusianya. Anak-anak seperti ini digambarkan sebagai anak “lamban”, dan mereka mungkin mempunyai kesulitan dengan tulisan tangannya ataupun dengan kemandiriannya. Namun keadaan ini sering luput dari pengamatan karena orangtua tidak mengenalnya sebagai suatu masalah medis, dan menganggapnya sebagai “anak yang malas, ceroboh”. Bila pun kelambanan ini dikeluhkan oleh orangtua kepada dokter, umumnya para dokter juga akan berupaya meyakinkan orangtua bahwa masalah ini akan teratasi dengan sendirinya.
Ini tidak mengherankan karena kondisi GPK memang belum dikenal bila dibandingkan dengan gangguan perkembangan seperti ADHD (attention deficit hyperavtive disorder) atau kesulitan belajar.
Pada survei terhadap 255 dokter anak, 501 orangtua dan 202 guru, terbukti bahwa hanya 41% dokter anak yang mengenal GPK, dibandingkan 99% yang mengenal ADHD dan 93% mengenal kesulitan belajar. Demikian pula guru sekolah atau orangtua yang mengenal GPK hanya sebanyak 6% dibandingkan 74% mengenal ADHD. Di Indonesia, meski belum ada survey seperti ini, namun diduga kondisinya tidak berbeda.
Istilah sindrom anak lamban (clumsy child syndrome) digunakan untuk menggambarkan anak dengan inteligensia normal, tanpa kelainan medis yang teridentifikasi, namun mempunyai gangguan koordinasi yang berpengaruh pada performa akademik dan atau sosialisasi. Belakangan, istilah sindrom anak lamban diganti dengan istilah “gangguan perkembangan koordinasi (GPK)”. Penelitian juga telah membuktikan bahwa pada umumnya kelambanan ini cenderung dapat menetap sampai remaja dan dewasa. Remaja GPK sudah sewajarnya mendapatkan perhatian dari para orangtua dan guru, mengingat mereka umumnya berisiko mengalami kesulitan belajar, masalah emosi dan perilaku.
Apa itu Gangguan Perkembangan Koordinasi (GPK)?
Kondisi GPK menyebabkan kesulitan mengkoordinasikan cara tubuh bergerak. Diinterpretasikan sendiri oleh remaja sebagai ”lamban”. Kondisi GPK dapat menyebabkan masalah dengan otot kasar tubuh yang digunakan untuk berlari, melompat dan berolahraga (juga disebut koordinasi gerak kasar). GPK juga dapat menyebabkan masalah dengan otot halus yang digunakan untuk mengikat tali sepatu, atau menulis (koordinasi gerak halus), atau dapat terjadi pada keduanya.
GPK membuat aktifitas sekolah yang membutuhkan koordinasi gerak menjadi tantangan yang menguras tenaga dan membuat frustrasi. Para remaja mengalami kesulitan dalam menulis rapih, mengetik cepat, menggunakan gunting, kunci kombinasi atau peralatan sains, kesulitan dalam mengorganisir diri dan kegiatan olahraga. Mereka juga menghadapi tantangan dengan aktivitas kehidupan sehari-hari di rumah, misalnya menggunakan garpu – pisau untuk memotong makanan, mengeringkan rambut dengan pengering rambut, mencukur atau memakai anting di telinga. Kegiatan yang sebenarnya relatif santai dan sosial juga terpengaruh oleh GPK, misalnya kesulitan berolahraga skateboard, atau kesulitan bermain bola dalam tim olahraga.Kesulitan-kesulitan ini tidak berarti para remaja tidak dapat berprestasi, hanya saja remaja dengan kondisi GPK memerlukan kerja yang lebih keras untuk mencapai tujuannya bila dibandingkan teman bermain seusianya.
Penyebab GPK
Minimal terdapat 5% remaja dengan GPK, dan remaja lelaki lebih banyak dari remaja perempuan. Penyebabnya banyak faktor, namun yang pasti belum diketahui, dan diduga ada pengaruh genetik atau terjadi gangguan ketika di dalam kandungan, ketika lahir, atau setelah lahir yang memengaruhi perkembangan otak atau motorik. Mencari jawaban mengenai terjadinya GPK memang cukup sulit, sehingga yang lebih diutamakan adalah penanganan yang dapat dilakukan untuk membantu mereka melakukan tugas secara mandiri dengan baik dan berhasil.
Untuk mengatasi masalah GPK, remaja perlu mempunyai kiat-kiat, antara lain “ M.A.T.C.H” yaitu:
M = Modification → modifikasi tugas
A = Alternative → alternatif pada tujuan
T = Try → mencoba menggunakan siasat yang baru
C = Change → mengganti dan memanfaatkan lingkungan
H = Help → membantu dan memberi pengertian pada diri sendiri dan orang lain.
Kiat M.A.T.C.H. dapat digunakan dalam:
II. Gejala lamban/canggung pada remaja yang masuk dalam kategori normal
Gejala lamban/canggung pada remaja yang masuk dalam kategori normal dapat terjadi pada masa pacu tumbuh. Peneliti Bisi (2016) mengatakan bahwa pertambahan tinggi badan yang cepat berpengaruh pada kemampuan tubuh untuk mengontrol keterampilan alat gerak yang sudah terbentuk sejak dini seperti berjalan. Peneliti menduga otak berusaha keras untuk menanggulangi perubahan tinggi badan yang terjadi secara tiba-tiba selama masa pacu tumbuh.
Pada penelitian yang membandingkan performa berjalan remaja lelaki yang sedang mengalami pacu tumbuh (19 remaja dengan pertambahan tinggi badan 3 cm dalam 3 bulan) dengan remaja lelaki yang tidak dalam pacu tumbuh (19 remaja dengan pertambahan tinggi badan kurang dari 1 cm dalam 3 bulan) didapatkan adanya pengaruh dalam keteraturan, kelancaran dan variabilitas gaya berjalan pada remaja lelaki yang sedang dalam pacu tumbuh. Pada kelompok kontrol, otak masih dapat mengatasi perubahan dengan mempertahankan stabilitas sistim gaya berjalan.
Apa yang harus dilakukan orangtua?
Mengingat kondisi GPK mempunyai dampak terhadap pertumbuhan berupa peningkatan risiko terjadinya kelebihan berat badan dan obesitas dan dampak terhadap perkembangan berupa gangguan dalam prestasi akademik, dan kesulitan dengan hubungan social, maka perlu kesadaran orangtua untuk membawa anaknya ke klinik tumbuh kembang anak/remaja untuk melakukan skrining. Skrining terutama pada anak usia dini untuk menemukan gangguan pertumbuhan / perkembangan anak sebelum makin berat.
Bila dalam skrining ditemukan adanya indikasi GPK, maka selanjutnya dilakukan pemeriksaan saraf oleh dokter saraf anak untuk menilai koordinasi otot dan keseimbangan, kualitas gerakan, kecepatan dan ketangkasan anggota gerak dan kecepatan respon dan control motor-visual.
Bila terdapat GPK, maka perlu dilakukan intervensi penanganan. Terdapat bukti kuat bahwa anak yang mendapat intervensi akan menjadi lebih baik daripada yang tidak diintervensi. Intervensi yang efektif dengan cara pendekatan keterampilan fungsional dengan mengajari kegiatan hidup sehari-hari yang harus mampu dilakukan oleh anak, dan penerapan contoh kiat-kiat di atas.